MELEPAS kacamata baca, lalu diletakkannya di samping laptop yang masih menyala. Telunjuk dan ibu jarinya menekan ujung hidung, lelah mata karena memandang deretan angka di layar bercahaya putih sejak beberapa jam lamanya. Melirik ke dinding bercat coklat muda, tangan-tangan di bulatan penanda waktu sudah berada di angka 23.15. Pantas saja, batinnya. Mematikan alatnya untuk bekerja, merebahkan diri di kasur. Kombinasi busa dan pegas penyangga empuk terasa nyaman di punggungnya. Matanya terpejam begitu saja.
Terhenyak dari tidur, dia menatap gawai hitam di meja kecil samping tempat tidurnya. Memaksa tubuhnya bangun lalu sedikit berlari membasuh diri. “Harusnya nggak perlu buka kerjaan di Sabtu malam” desisnya sembari mengguyur badan dengan air dingin.
Memakai dress panjang selutut warna biru tua dengan aksen bunga dandelion kesayangannya, gadis itu kemudian mengendarai mobilnya ke tempat dimana dia akan menghabiskan waktu satu setengah jam di hari minggu pagi.
“Karuna” suara seorang wanita menghentikan langkahnya memasuki bangunan berusia seratus empat tahun berarsitektur neo-gotik khas gereja tua.
“Hai, Ven. Sendirian?” Karuna menatap wanita yang menggendong anak berusia sekitar satu tahun, juga menggandeng anak laki-laki berusia tiga tahun sekaligus.
“Hendra lagi nyari parkir, aku ke ruangan sekolah minggu dulu, ya” Venty, nama wanita yang merayu anak laki-lakinya untuk tidak merajuk, berjalan menuju sebuah ruangan di sisi kanan pintu masuk utama gereja. Langkah kaki Karuna mantap masuk ke bangunan dengan atap tinggi dan deretan lukisan di sisi kiri dan kanannya. Telunjuknya dicelupkan di cawan kuningan kecil dekat pintu. Pertanda doa, tanpa suara yang terdengar telinga, tanpa bisikan hatinya, Karuna memilih bangku paling belakang, tapi sejajar dengan altar, tepat mata bertemu mata dengan imam yang mempersembahkan misa.
Mata dan kepala sedikit berat, akibat memaksa bekerja tadi malam barangkali. Wanita itu masih duduk di bangku, mengamati orang-orang menuju pintu. Misa sudah selesai, tapi Karuna tidak beranjak juga. Riskan rasanya jika memaksa mata terbuka dan lalu berkendara, oleh karenanya dia memilih masih diam di dalam gereja, duduk di bangku umat paling belakang.
Gereja yang tadinya penuh dengan manusia yang memenuhi bangku-bangku panjangnya, kini hampir kosong oleh makhluk yang paling istimewa ciptaan Sang Kehidupan. Hanya ada beberapa orang saja didalamnya, termasuk Karuna. Juga empat orang masih bersimpuh, entah memanjatkan apa dalam doa khusyuknya. Karuna tidak sedang berdoa, dia hanya memandang empat orang di depan altar yang sedang menyapa Tuhan di hening yang dalam. Empat orang, seperti keluarga dengan seorang anak laki-laki dan seorang perempuan, mereka bergandengan namun menundukkan kepala. Menenangkan sekali nampaknya.
Tak lama, mereka selesai berdoa, berjalan ke arah Karuna, tepat mata dengan mata, Karuna dan seorang pria yang nampaknya kepala keluarga. Bapak itu tersenyum ramah, juga dengan ibu yang berambut pendek nan cantik disisinya.
Mereka tampak sederhana dengan baju batik motif dan warna yang sama, seragam keluarga.
“Berarti, nanti kalau kita main ke Jogja, kakak bisa jadi penunjuk jalan. Biar nggak nyasar kayak tahun kemarin, Yah” kata anak perempuan yang tampak lebih muda daripada anak laki-laki. Suaranya terdengar cukup keras, efek gedung besar dan sepi.
“Iya. Nanti, kakak hapalin semua jalan di Jogja, biar kalau adek, Ayah, Bunda main, kita nggak nyasar-nyasar lagi” anak laki-laki besar menanggapi.
Karuna beranjak dari duduknya, kala keluarga itu mulai dekat dengan bangku belakang. “Selamat pagi. Berkah Dalem” sapa pasangan suami istri itu hampir serempak kepada Karuna.
“Selamat pagi. Berkah Dalem, Pak-Bu” jawab Karuna ramah.
Karuna berjalan di belakang keluarga itu. Masih terdengar di telinganya percakapan hangat mereka.
“Kakak ada pertemuan OMK, adek ada latihan misdinar hari ini kan? ” kata sang Ayah begitu keluar dari gedung gereja, disambut anggukan dari sang putri.
“Hari ini Ayah ada rapat sebentar dengan bidang Liturgi. Pulangnya, kita mampir beli mie ayam gerobak biru dekat perempatan dulu. Gimana?” ujar sang Ayah sembari mengelus lembut ujung kepala puterinya.
“Wah, Ok! Sudah lama kita nggak makan di luar” si kecil bersorak bahagia.
Entah apa yang membuat Karuna begitu tertarik melihat interaksi keluarga ini, suasana menyenangkan seperti terpancar dari laku mereka. Dia berdiri diam beberapa langkah dari keluarga itu. Ada semacam desiran hangat dalam hatinya. Seutas senyum tercipta dari bibir mungilnya.
“Eh, maaf ya, kami ramai sekali” Ibu dengan rambut pendek cantik itu menengok, seakan menyadari ada sepasang mata yang mengawasi sedari tadi.
“Oh, tidak, Bu. Tidak sama sekali” jawabnya sedikit canggung karena terpergok seakan menguping pembicaraan. Ibu itu tersenyum seraya mengulurkan tangan, hendak bersalam.
“Saya Ibu Kus. Ini Bapak Kus dan kedua anak kami, Bima dan Dewi” katanya sembari tersenyum ramah sekali.
“Saya Karuna” menjalin erat uluran tangan Ibu Kus, Karuna memperkenalkan dirinya. Bukan hanya kepada Ibu Kus, Karuna juga bersalam dengan Pak Kus, Bima dan Dewi.
“Maaf ya, Mbak Karuna. Saya harus duluan ke aula karena ada rapat. Permisi” Pak Kus berpamitan, kemudian berjalan menuju aula yang berada di sisi kiri gereja.
“Permisi Mbak Karuna, kami juga duluan” kali ini Bima dan Dewi yang berpamitan, Bima menuju ruangan OMK, sedangkan Dewi menuju ke kerumunan teman-temannya di belakang depan pintu sakristi.
“Mbak Karuna kok belum pulang?” tanya Ibu Kus
“Tadi saya agak pusing. Karena saya bawa kendaraan sendiri saya belum berani langsung pulang, Bu, jadi saya duduk sebentar di dalam gereja” jawab Karuna
“Sekarang masih pusing? Di ruang kesehatan ada obat-obatan, kalau Mbak perlu, bisa saya ambilkan” tatapan mata Ibu Kus tampak sedikit cemas memandang Karuna, khas tatapan seorang ibu yang mendapat keluhan anaknya.
“Rasanya sudah lebih baik, Bu. Kalau boleh saya tahu, apakah ibu sekeluarga adalah pengurus Gereja?” tanya Karuna. Ibu Kus tersenyum ke arah Karuna, menatap wanita itu lurus-lurus.
“Kami hanya bantu-bantu saja, Mbak. Cuma rewang’e Gusti. Apa ada yang bisa kami bantu?”
“Oh, tidak kok, Bu. Hanya saja, sepertinya keluarga Ibu Kus masih berkegiatan di gereja bahkan setelah misa”
“Iya, Mbak. Pak Kus tadi rapat bidang liturgi, Dewi latihan misdinar, Bima ada pertemuan dengan teman-teman OMK” ujar Ibu Kus sambil mulai berjalan menuju bangku dekat papan pengumuman diikuti langkah Karuna disisinya.
“Kami menyadari bahwa Tuhan sungguh baik kepada kami sekeluarga. Cara bersyukur masing-masing orang bisa berbeda-beda, Mbak Karuna. Dan ini adalah salah satu cara kami bersyukur. Meluangkan waktu, tenaga dan pikiran sebentar, bantu-bantu di Gereja” Ibu Kus tersenyum dalam keanggunannya. Kata-kata wanita sederhana yang kira-kira berusia akhir empat puluhan itu membuat Karuna tertunduk.
Karuna menggigit bibir bawahnya, berusaha menahan deru tak biasa dalam hatinya.
“Mbak Karuna apa sudah membaik benar? Ibu ambilkan obat di ruang kesehatan sebentar ya?” Ibu Kus memegang lengan atas Karuna, netranya terarah ke wajah perempuan muda di depannya. Karuna menggeleng, meyakinkan Ibu Kus bahwa dia baik-baik saja. Desiran dalam hatinya semakin terasa.
Sampai di bangku mobilnya, Karuna duduk diam memandang stir bundar, tanpa mesin yang menyala. Bukan karena kantuk dan pusing yang mendera, tapi peristiwa yang baru saja dialaminya. Tertegun dengan betapa keluarga yang tampak sederhana itu dengan sukacita melangkah menuju porsinya dalam Gereja, ditengah hiruk pikuk segala kegiatan mereka sebagai manusia pada umumnya. Kata-kata Ibu Kus kembali terngingang dalam benaknya. Cara bersyukur keluarga mereka.
Karuna memandang segala sudut mobilnya, tas yang dia bawa, gawai merk ternama dengan teknologi terbarunya, jam tangan cantik, dan baju indah yang terpasang apik. Sepintas, bayangan masa-masa kecilnya seperti terputar kembali. Masa kecil dengan gizi yang tercukupi, pendidikan dari sekolah terbaik, mainan yang beragam di kamar bercat merah jambu di rumah tingkat dua salah satu perumahan dengan deretan rumah mewah di pusat kota. Segala yang dia peroleh baik, sangat baik.
Netranya menatap ke arah gereja dimana pagar putih masih setengah terbuka. Jangankan meluangkan tenaga, pikiran tentang Gereja saja hampir tidak pernah terlintas dalam benaknya. Ketika mata malas terbuka, ketika lelah sekejap menyita tenaga. Ah, Tuhan pasti mengerti, kalau aku sibuk sekali, batin Karuna. Rasanya lupa terhadap Pencipta Semesta. Juga kala duka menghadang jalan hidupnya, sekedar datang bersimpuh, merajuk lalu memaksa Tuhan memberikan bahagia. Kosong, pada akhirnya yang dirasa Karuna.
Gadis itu tersenyum memandang pagar tinggi warna putih gerejanya. Hatinya hangat oleh sentuhan asing yang sepertinya lama sekali tidak dia rasa. Hiruk pikuk dunia katanya jadi penjara dingin bagi jiwa-jiwa seperti Karuna. Tapi ternyata, Tuhan selalu punya cara untuk menyapa, bahkan di sepuluh menit selepas misa pagi. (Elisabeth Ika/I)